Mayat bukan siapa siapa saja yg ada di kubur,
Tapi siapa-siapa saja yang hidup dengan semangat dan jiwa terkubur.
( Indrawan yepe)

Seringkali dalam kehidupan kita disinggahi hal-hal yang meruntuhkan semangat dan jiwa kita agar selalu lemah setelah bersemangat.
Ada sebuah kisah yang saya alami ketika saya diundang mengisi training untuk motivasi dan intropeksi kurang lebih sebulan sebelum gempa Yogya –Jateng tahun 2006 dengan lokasi tepat di pantai parang kusumo yogyakarta yang pesertanya siswa SMU dan Mahasiswa, dalam sela-sela kesempatan waktu ada seseorang yang asyik ngobrol dengan saya berdua sambil mengeluarkan segala keluh kesahnya, yg paling menarik buat saya adalah cerita dimana sehari sebelum pertemuan dengan saya dia berusaha meregang nyawa dengan cara yang bathil alias mencoba mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Melihat dari fisiknya ia seorang lelaki yang gagah ganteng dan secara fisik sempurna tetapi ia hampir saja menjadi mayat yang sesungguhnya dan dikubur dg sia-sia, lumayan masih tertunda kurang dari 24 jam semenjak belum ketemu dengan saya.dari pertemuan ini diri saya harus bisa masuk menyelaminya dg tanpa menggurui dan yang pasti saya lakukan saat itu saya harus menjadi pihaknya dan memberikan nasib yang sama sebelum meneruskan pembicaraan yang merupakan bagian tantangan konseling.
Masalah yang utama adalah keluarga; diawali pertemuan yang tak sengaja melalui jaringan internet dg wanita yg ayah dan ibunya menjadi orang penting di provinsi Irian barat, keluarga pejabat birokrasi pemerintaan yg masing-masing adalah kepala meski beda departemen, dg kekayaan yang melimpah. Cukup minder dengan masalah keuangan dan juga mendengar kabar kemunkinan yang tidak disetujui, maka kawan bicaraku tadi mencari cara untuk berbohong dan juga melewati jalan yang buruk yaitu hubungan seks sebelum pernikahan dan akhirnya wanita cantik yang akan dinikahinya hamil lebih dahulu dan orang tuanya terpaksa meminta tanggung jawab.dan kawan ini masih saja berbohong tentang pekerjaan dan harta,karena dimaksudkan mengimbangi.karena kebohongan itu seperti bangkai busuk yang meski semakin ditutup-tutupi tetap akan tercium juga baunya dan bau itu semakin lama semakin busuk. Inilah yang membuat kekacauan kehidupanya, kedua orang tua wanita tersebut merasakan bau itu dan ditumpahkan sekuat mungkin baunya.meski demikian tetap juga ada kesalahan besar kenapa kawan ini berusaha berbohong, tentu juga karena tuntutan orang tua wanita tersebut,”saya tak menyalahkan kau kawan” kataku padanya dan teruskan ceritanya.
Keluhan demi keluhan disampaikan dan aku menikmati setiap kata sehingga aku juga mengalir disela sela suara ombak parangkusumo.
Kemudian usai acara berkisar jam 11 malam kami lanjutkan berada di pinggiran api ungun yang dinyalakan peserta traning, bergabung dengan kami berdua seorang ustadz yang memimpin dan yang mengasuh para peserta training di sebuah pesantren yg beliau pimpin.
Semakin asyik obrolan yang semula berdua menjadi bertiga,masalah demi masalah,keluhan demi keluhan saya dengarkan dengan ustadz tadi yang mana saya dan ustadz berusaha memberikan solusi dan tanggapan.
Keajaiban terjadi ketika kami memberikan tanggapan ternyata seide dan sepaham sehingga solusi semakin dekat ditemukan kawan yang punya semangat dan jiwa tekubur menjadi lebur bersama gerimis yang membasahi pakaian dan tubuh kami yg tidak beranjak dari tempat kami duduk, karena ada rasa syukur yang menstimulus kami untuk menikmati gerimis yang disusul hujan.
Disela-sela bibir kawan yang basah bergetar yang air matanya lebur dengan tetesan hujan ia mengatakan kejujuran batinnya “selama ini saya disalahkan dan disalahkan,disudutkan hingga dada terasa terhimpit tembok yang sangat tebal, bapak, ibuku menyalahkan, kakakku, keluargaku, semua orang-orang dekatku menyalahkan terlebih mertuaku yang gila harta, semua menghimpit sampai sesak dada ini tak basa bernafas hingga ubun ubun merasa ada batu sebesar kepalan yg selalu menghantam dan otakku dipenuhi dg paku tumpul.hanya, cuma Mas dan Bapak yang tidak menyalahkanku, aku bersyukur ketemu Mas dan Bapak, mungkin kalau tidak, besok saya melanjutkan proses kematianku yang hina”.
Saya dan ustadz tadi benar benar bersyukur Segala Puji Bagi Allah Tuhan Semesta Alam.Ustadz tadi memberikan kata-kata terakhir, ”mulai besok tinggalah di tempat kami di pesantren kecil,tak perlu membayar sewa tinggal dan makan gratis,dg catatan kamu punya ilmu tentang computer dan teknologi yang harus kau terapkan pada adik-adikmu yg tinggal bersamamu, dan kamu menjadi orang yang berarti juga untuk kami”.
Dan saya juga katakan “meski terpisah sementara dari istrimu, ternyata kamu sangat mencintai dan dia mencintamu, juga anakmu yang membutuhkan sosok ayah, ambilah keputusan yang terbaik untuk keluargamu sendiri jangan hiraukan orang lain, citakan sebuah kebahagian untuk dirimu,istrimu dan anakmu kebahagiaan dunia dan akhirat, kamu bisa dan pasti mampu asal tak pernah kau kubur kembali jiwa dan semangatmu. Dan kematian bukanlah keputusanmu & Rizki bukanlah pemberianmu”.
Seringkali hanya dengan menyalahkan seseorang, tidaklah dapat merubah seseorang yang benar-benar bersalah.

Kegagalan seharusnya adalah guru kita, bukanya pengurus pemakaman kita.Kegagalan adalah penundaan bukanya kekalahan.Kegagalan adalah perubahan rute sementara,bukanya jalan buntu. (John Maxwell)

Tiap tiap yang berjiwa pasti akan mati. Dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah di sempurnakan pahalamu. Barang siapa dijauhkan dari api neraka dan di masukkan kedalam surga, maka ia telah beruntung. kehidupan didunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan. (QS.Ali Imron:185)

kisah nyata dari penulis:Indrawan Yepe
seorang motivator,designer artist,arangger.trainer,hamba yang lemah disisiNYA

Apakah anda pernah membayangkan menulis buku bukan dengan tangan, kaki atau anggota tubuh lainnya? Bayangkan kalau anda menulis dengan kelopak mata kiri? Jika Anda mengatakan itu hal yang mustahil untuk dilakukan, Anda tentu belum mengenal orang yang bernama Jean- Dominique Bauby. Seorang pemimpin redaksi majalah Elle, majalah kebanggaan Prancis yang digandrungi wanita seluruh dunia.

Betapa mengagumkan semangat hidup dan tekad maupun kemauannya untuk menulis dan membagikan kisah hidupnya yang begitu luar biasa. Ia meninggal tiga hari setelah bukunya diterbitkan. Setelah tahu apa yang dialami si Jean dalam menempuh hidup ini, Anda pasti akan berpikir, “Berapa pun problem dan beban hidup kita semua, hampir tidak ada artinya dibandingkan dengan si Jean!”

Tahun 1995, ia terkena stroke yang menyebabkan seluruh tubuhnya lumpuh. Ia mengalami apa yang disebut locked-in syndrome, kelumpuhan total yang disebutnya “Seperti pikiran di dalam botol”. Memang ia masih dapat berpikir jernih tetapi sama sekali tidak bisa berbicara maupun bergerak. Satu-satunya otot yang masih dapat diperintahnya adalah kelopak mata kirinya. Jadi itulah cara dia berkomunikasi dengan para perawat, dokter rumah sakit, keluarga dan temannya.

Begini cara Jean menulis buku. Mereka (keluarga, perawat, teman- temannya) menunjukkan huruf demi huruf dan si Jean akan berkedip apabila huruf yang ditunjukkan adalah yang dipilihnya. “Bukan main,” kata Anda.

Ya, itu juga reaksi semua yang membaca kisahnya. Buat kita, kegiatan menulis mungkin sepele dan menjadi hal yang biasa. Namun, kalau kita disuruh “menulis” dengan cara si Jean, barang kali kita harus menangis dulu berhari-hari dan bukan buku yang jadi, tapi mungkin meminta ampun untuk tidak disuruh melakukan apa yang dilakukan Jean dalam pembuatan bukunya.

Tahun 1996 ia meninggal dalam usia 45 tahun setelah menyelesaikan memoarnya yang ditulisnya secara sangat istimewa. Judulnya, “Le Scaphandre” et le Papillon (The Bubble and the Butterfly).

Jean adalah contoh orang yang tidak menyerah pada nasib yang digariskan untuknya. Dia tetap hidup dalam kelumpuhan dan tetap berpikir jernih untuk bisa menjadi seseorang yang berguna, walaupun untuk menelan ludah pun, dia tidak mampu, karena seluruh otot dan saraf di tubuhnya lumpuh. Tetapi yang patut kita teladani adalah bagaimana dia menyikapi situasi hidup yang dialaminya dengan baik dan tetap menjadi seorang manusia (bahasa Sansekerta yang berarti pikiran yang terkendali), bahkan bersedia berperan langsung dalam film yang mengisahkan dirinya.

Jean, tetap hidup dengan bahagia dan optimistis, dengan kondisinya yang seperti sosok mayat bernapas. Sedangkan kita yang hidup tanpa punya problem seberat Jean, sering menjadi manusia yang selalu mengeluh..! Coba ingat-ingat apa yang kita lakukan. Ketika mendapat cuaca hujan, biasanya menggerutu. Sebaliknya, mendapat cuaca panas juga menggerutu. Punya anak banyak mengeluh, tidak punya anak juga mengeluh. Carl Jung, pernah menulis demikian: “Bagian yang paling menakutkan dan sekaligus menyulitkan adalah menerima diri sendiri secara utuh, dan hal yang paling sulit dibuka adalah pikiran yang tertutup!”

Maka, betapapun kacaunya keadaan kita saat ini, bagi yang sedang stres berat, yang sedang berkelahi baik dengan diri sendiri maupun melawan orang lain, atau anggota keluarga yang sedang tidak bahagia karena kebutuhan hidupnya tidak terpenuhi, yang baru mendapat musibah kecelakaan atau bencana, bagi yang sedang di-PHK, ingatlah kita masih bisa menelan ludah, masih bisa makan dan menggerakkan anggota tubuh lainnya. Maka bersyukurlah, dan berbahagialah…! Jangan menjadi pengeluh, penggerutu, penuntut abadi, tapi bijaksanalah untuk bisa selalu think and thank (berpikir, kemudian berterima kasih/ bersyukurl).

Dalam artikel yang berjudul Kegagalan & Kesuksesan Hasil Konsekuensi Pikiran ( SPM 26 Februari 2005) dituliskan, seseorang yang sadar sepenuhnya, dia datang ke dunia ini hanya dibekali sebuah nyawa (jiwa). Nah, nyawa itu harus dirawat dengan menjalani kehidupan
secara bertanggung jawab. Dengan nyawa ini pulalah, seseorang harus hidup bahagia, di manapun dia berada, dan dalam kondisi apapun, dia harus bisa bahagia. Kunci kebahagiaan adalah bersyukur! Mensyukuri apa yang kita dapat itu penting, termasuk sebuah nyawa agar kita bisa hidup di alam ini. Dan kebahagiaan bisa dibuat, dengan tidak meminta (menuntut) apapun pada orang lain, tetapi memberikan apa yang bisa diberikan kepada orang lain agar mereka bahagia. Jadilah seseorang yang merasa ada gunanya untuk kehidupan ini.

Untuk itu, Anda bisa mendengarkan intuisi sendiri sehingga bertindak sesuai nurani dan menghasilkan apa yang Anda inginkan dalam hidup. Hadapi hidup dengan tabah karena orang-orang beruntung bukan tidak pernah gagal. Bukan tidak pernah ditolak, juga bukan tidak pernah kecewa. Justru banyak orang yang sukses itu sebetulnya orang yang telah banyak mengalami kegagalan.

Berpikirlah positif, Anda akan menjadi orang yang beruntung. Banyak cerita tentang keberuntungan berasal dari kejadian-kejadian yang tidak menguntungkan. Misalnya, kehilangan pekerjaan memunculkan ide besar untuk mulai bisnis sendiri dan menjadi majikan. Ditolak pun bisa mendatangkan kesuksesan. Tetapi, untuk mendapatkan
keberuntungan diperlukan usaha. Dan mulailah sekarang juga untuk berusaha!

Sumber: Bahagia, ada pada Jiwa yang Bisa Bersyukur oleh Lianny Hendranata

brother and ISebagian besar orang memperoleh inspirasi dalam hidup mereka. Mungkin dari percakapan dengan seseorang yang kau hormati atau sebuah pengalaman. Apa pun bentuknya, inspirasi cenderung membuatmu memandang kehidupan dari sudut pandang yang baru. Inspirasiku berasal dari adikku Vicki, seseorang yang baik hati dan penuh perhatian. Ia tidak peduli akan penghargaan atau masuk dalam surat kabar. Yang diinginkannya hanyalah berbagi cinta dengan orang yang dikasihinya, keluarga dan teman-temannya.

Pada musim panas sebelum aku mulai kuliah tingkat tiga, aku menerima telepon dari ayahku yang memberitakan bahwa Vicki masuk rumah sakit. Ia pingsan dan bagian kanan tubuhnya lumpuh. Indikasi awal adalah ia menderita stroke. Namun, hasil tes memastikan bahwa penyakitnya lebih serius. Ada sebuah tumor otak ganas yang menyebabkannya lumpuh. Dokter hanya memberinya waktu kurang dari tiga bulan. Aku ingat aku bertanya-tanya, bagaimana mungkin ini terjadi? Sehari sebelumnya Vicki baik-baik saja.

Sekarang, hidupnya akan berakhir pada usia begitu muda. Setelah mengatasi rasa kaget dan perasaan hampa pada awalnya, aku memutuskan bahwa Vicki membutuhkan harapan dan semangat.

Ia memerlukan seseorang yang membuatnya percaya bahwa ia dapat mengatasi rintangan ini. Aku menjadi pelatih Vicki. Setiap hari kami membayangkan bahwa tumornya menyusut dan semua yang kami bicarakan bersifat positif. Aku bahkan memasang poster di pintu kamar rumah sakitnya yang bertulisan, “Kalau kau memiliki pikiran negatif, tinggalkan pikiran itu di pintu.”

Aku sudah berbulat hati untuk membantu Vicki mengalahkan tumor itu. Kami berdua membuat perjanjian yang disebut 50-50. Aku berjuang 50% dan Vicki akan memperjuangkan 50% sisanya.

Bulan Agustus tiba dan kuliah tingkat tiga akan dimulai di aloneuniversitas yang jaraknya 3000 mil dari rumah. Aku bingung, apakah aku harus pergi atau tetap menemani Vicki. Aku salah bicara, menyebutkan bahwa aku mungkin tak akan pergi kuliah. Ia menjadi marah dan menyuruhku untuk tidak khawatir karena dia akan baik-baik saja. Jadi, malah Vicki, yang berbaring sakit di tempat
tidur di rumah sakit, yang menyuruhku agar jangan khawatir. Aku sadar bahwa kalau aku tetap bersamanya, aku
mungkin akan menyiratkan bahwa dia sedang sekarat dan aku tak mau ia berpikir begitu. Vicki harus yakin bahwa ia dapat menang melawan tumor itu.

Kepergianku malam itu, merasakan bahwa ini mungkin terakhir kalinya aku melihat Vicki dalam keadaan hidup, adalah hal yang tersulit yang pernah kulakukan. Selama kuliah, aku tak pernah berhenti memperjuangkan 50% bagianku untuknya. Setiap malam sebelum tidur, aku berbicara dengan Vicki, berharap ia dapat mendengarku. Aku berkata, “Vicki, aku sedang berjuang untukmu dan aku tak akan menyerah. Asalkan kau tak pernah berhenti berjuang, kita dapat mengalahkan tumor ini.”

Beberapa bulan berlalu dan dia masih bertahan. Aku sedang berbicara dengan seorang teman yang lebih tua dan ia menanyakan keadaan Vicki. Aku bercerita bahwa kondisinya makin buruk, tapi dia tak menyerah.

Temanku melontarkan suatu pertanyaan yang benar-benar membuatku berpikir. Katanya, “Menurutmu, apakah dia bertahan itu karena dia tak mau mengecewakanmu?” Mungkin perkataannya benar? Mungkin aku egois, menyemangati Vicki untuk terus berjuang? Malam itu sebelum tidur, aku berkata padanya, “Vicki, aku mengerti kau sangat menderita dan mungkin kau ingin menyerah. Kalau memang begitu, aku mendukungmu. Kita tidak akan kalah karena kau tak pernah berhenti berjuang. Kalau kau ingin pergi ke tempat yang lebih baik, aku mengerti. Kita pasti bersama lagi. Aku menyayangimu dan aku akan terus bersamamu di mana pun kau berada.”

Keesokan paginya, ibuku menelepon, memberi tahu bahwa Vicki telah meninggal.

Sumber: Chicken Soup for the Teenage Soul, by James Malinchak

Patung motivasi Suatu ketika, hiduplah seorang pematung. Pematung ini, bekerja pada seorang raja
yang masyhur dengan tanah kekuasaannya. Wilayah pemerintahannya sangatlah luas.
Hal itu membuat siapapun yang mengenalnya, menaruh hormat pada raja ini.

Sang pematung, sudah lama sekali bekerja pada raja ini. Tugasnya adalah membuat
patung-patung yang diletakkan menghiasi taman-taman istana. Pahatannya indah,
karena itulah, ia menjadi kepercayaan raja itu sejak lama. Ada banyak raja-raja
sahabat yang mengagumi keindahan pahatannya saat mengunjungi taman istana.

Suatu hari, sang raja mempunyai rencana besar. Baginda ingin membuat patung dari
seluruh keluarga dan pembantu-pembantu terbaiknya. Jumlahnya cukup banyak, ada
100 buah. Patung-patung keluarga raja akan di letakkan di tengah taman istana,
sementara patung prajurit dan pembantunya akan di letakkan di sekeliling taman.
Baginda ingin, patung prajurit itu tampak sedang melindungi dirinya.

Sang pematung pun mulai bekerja keras, siang dan malam. Beberapa bulan kemudian,
tugas itu hampir selesai. Sang Raja kemudian datang memeriksa tugas yang di
perintahkannya. “Bagus. Bagus sekali, ujar sang Raja. “Sebelum aku lupa, buatlah
juga patung dirimu sendiri, untuk melengkapi monumen ini.”

Mendengar perintah itu, pematung ini pun mulai bekerja kembali. Setelah beberapa
lama, ia pun selesai membuat patung dirinya sendiri. Namun sayang, pahatannya
tak halus. Sisi-sisinya pun kasar tampak tak dipoles dengan rapi. Ia berpikir,
untuk apa membuat patung yang bagus, kalau hanya untuk di letakkan di luar
taman. “Patung itu akan lebih sering terkena hujan dan panas,” ucapnya dalam
hati, pasti, akan cepat rusak.”

Waktu yang dimintapun telah usai. Sang raja kembali datang, untuk melihat
pekerjaan pematung. Ia pun puas. Namun, ada satu hal kecil yang menarik
perhatiannya. “Mengapa patung dirimu tak sehalus patung diriku? Padahal, aku
ingin sekali meletakkan patung dirimu di dekat patungku. Kalau ini yang terjadi,
tentu aku akan membatalkannya, dan menempatkan mu bersama patung prajurit yang
lain di depan sana.”

Menyesal dengan perrbuatannya, sang pematung hanya bisa pasrah. Patung dirinya,
hanya bisa hadir di depan, terkena panas dan hujan, seperti harapan yang
dimilikinya.

***

Teman, seperti apakah kita menghargai diri sendiri? Seperti apakah kita
bercermin pada diri kita? Bagaimanakah kita menempatkan kebanggaan atas diri
kita? Ada kalanya memang, ada orang-orang yang selalu pesimis dengan dirinya
sendiri. Mereka, kerap memandang rendah kemuliaan yang mereka miliki.

Namun, apakah kita mau dimasukkan ke dalam bagian itu. Saya percaya, tak banyak
orang yang menghendaki dirinya mau dimasukkan sebagai orang yang pesimis. Kita
akan lebih suka menjadi orang yang bernilai lebih. Sebab, Allah pun menciptakan
kita tak dengan cara yang main-main. Allah menciptakan kita dengan kemuliaan
mahluk yang sempurna.

Dan teman, sesungguhnya, kita sedang memahat patung diri kita saat ini. Tapi
patung seperti apakah yang sedang kita buat? Patung yang kasar, yang tak halus
pahatannya, ataukah patung yang indah, yang memancarkan kemuliaan-Nya? Patung
yang bernilai mahal, yang menjadi hiasan terindah, atau patung yang berharga
murah yang tak layak diletakkan di tempat utama?

Memang, tak ada yang tahu akan ditempatkan dimana patung-patung diri kita kelak.
Karena hanya Allah lah Maha Tahu. Karenanya, bentuklah patung-patung itu dengan
indah. Pahatlah dengan halus, agar kita bisa ditempatkan di tempat yang terbaik,
di sisi-Nya. Poleslah setiap sisinya dengan kearifan budi, dan kebijakan hati,
agar memancarkan keindahan. Susuri setiap lekuknya dengan kesabaran, dan
keikhlasan.

Pahatan yang kita torehkan saat ini, akan menentukan tempat kita di akhirat
kelak. Bentuklah “patung” diri Anda dengan indah!

Dari kejauhan, lampu lalu-lintas di perempatan itu masih menyala hijau. Jack
segera menekan pedal gas kendaraannya. Ia tak mau terlambat. Apalagi ia tahu
perempatan di situ cukup padat sehingga lampu merah biasanya menyala cukup
lama. Kebetulan jalan di depannya agak lenggang. Lampu berganti kuning. Hati
Jack berdebar berharap semoga ia bisa melewatinya segera. Tiga meter
menjelang garis jalan, lampu merah menyala. Jack bimbang, haruskah ia
berhenti atau terus saja. “Ah, aku tak punya kesempatan untuk menginjak rem
mendadak,” pikirnya sambil terus melaju.

Prit! Di seberang jalan seorang polisi melambaikan tangan memintanya
berhenti. Jack menepikan kendaraan agak menjauh sambil mengumpat dalam hati.
Dari kaca spion ia melihat siapa polisi itu. Wajahnya tak terlalu asing.
Hey, itu khan Bob, teman mainnya semasa SMA dulu. Hati Jack agak lega. Ia
melompat keluar sambil membuka kedua lengannya.

“Hai, Bob. Senang sekali ketemu kamu lagi!”

“Hai, Jack.” Tanpa senyum.

“Duh, sepertinya saya kena tilang nih? Saya memang agak buru-buru. Istri
saya sedang menunggu di rumah.”

“Oh ya?” Tampaknya Bob agak ragu.

Nah, bagus kalau begitu. “Bob, hari ini istriku ulang tahun. Ia dan
anak-anak sudah menyiapkan segala sesuatunya. Tentu aku tidak boleh
terlambat, dong.”

“Saya mengerti. Tapi, sebenarnya kami sering memperhatikanmu melintasi lampu
merah di persimpangan ini.”

O-o, sepertinya tidak sesuai dengan harapan. Jack harus ganti strategi.
“Jadi, kamu hendak menilangku? Sungguh, tadi aku tidak melewati lampu merah.
Sewaktu aku lewat lampu kuning masih menyala.” Aha, terkadang berdusta
sedikit bisa memperlancar keadaan.

“Ayo dong Jack. Kami melihatnya dengan jelas. Tolong keluarkan SIMmu.”

Dengan ketus Jack menyerahkan SIM lalu masuk ke dalam kendaraan dan menutup
kaca jendelanya. Sementara Bob menulis sesuatu di buku tilangnya. Beberapa
saat kemudian Bob mengetuk kaca jendela. Jack memandangi wajah Bob dengan
penuh kecewa. Dibukanya kaca jendela itu sedikit. Ah, lima centi sudah cukup
untuk memasukkan surat tilang. Tanpa berkata-kata Bob kembali ke posnya.

Jack mengambil surat tilang yang diselipkan Bob di sela-sela kaca jendela.
Tapi, hei apa ini. Ternyata SIMnya dikembalikan bersama sebuah nota. Kenapa
ia tidak menilangku. Lalu nota ini apa? Semacam guyonan atau apa? Buru-buru
Jack membuka dan membaca nota yang berisi tulisan tangan Bob.

“Halo Jack,
Tahukah kamu Jack, aku dulu mempunyai seorang anak perempuan. Sayang, Ia
sudah meninggal tertabrak pengemudi yang ngebut menerobos lampu merah.
Pengemudi itu dihukum penjara selama 3 bulan. Begitu bebas ia bisa bertemu
dan memeluk ketiga anaknya lagi. Sedangkan anak kami satu-satunya sudah
tiada. Kami masih terus berusaha dan berharap agar Tuhan berkenan
mengkaruniai seorang anak agar dapat kami peluk.
Ribuan kali kami mencoba memaafkan pengemudi itu. Betapa sulitnya. Begitu
juga kali ini. Maafkan aku Jack. Doakan agar permohonan kami terkabulkan.
Berhati-hatilah.
Bob”

Jack terhenyak. Ia segera keluar dari kendaraan mencari Bob. Namun, Bob
sudah meninggalkan pos jaganya entah kemana. Sepanjang jalan pulang ia
mengemudi perlahan dengan hati tak tentu sambil berharap kesalahannya
dimaafkan.

Tak selamanya pengertian kita harus sama dengan pengertian orang lain. Bisa
jadi suka kita tak lebih dari duka rekan kita. Hidup ini sangat berharga,
jalanilah dengan penuh hati-hati. - Penulis tanpa nama. (Posting dari
seorang rekan yang tak mau disebut namanya.)

Cerita tukang batu Cerita tukang batu Hiduplah seorang ahli batu yang sangat
terkenal di China. Hasil karyanya tersohor di segenap penjuru negeri.
Batu-batu permata dan intan yang berkilauan itu, dipajang menjadi
perhiasan jemari dan kaki para raja. Hampir semua batu indah
di dunia ini, pernah diolah tangannya. Giok, rubi, dan
safir, terpajang di segenap sudut-sudut rumahnya.

Namun, sang ahli sudah sangat tua. Kini, ia berusaha
mencari pengganti dan penerus karya-karyanya. Belasan orang berusaha
berguru. Tapi, tak ada yang cocok buat pekerjaan itu.
Hingga akhirnya ia menemukan seorang pemuda yang tampak bersemangat,
dan bersedia menjalani ujian.

"Anak muda, ujian pertama ini tidak sulit," ucap sang ahli membuka pembicaraan.
"Mudah saja. Begini, jika kamu mampu mengambil batu dalam genggamanku, maka kamu
layak mewarisi semua ilmuku. Namun, jika tanganku yang lebih cepat menutup, maka
kamu harus mengulang ujian itu besok." Anak muda itu mendengarkan dengan
seksama. Ia mengangguk pelan, "Baiklah, itu pekerjaan mudah."

Ujian itu pun dimulai. Sang ahli, meletakkan sebuah batu di atas genggaman.
Disodorkannya ke arah muka si anak muda. "Ayo, ambil". Hap. Tampak kedua tangan
yang beradu cepat. Sang pemuda berusaha meraih batu dalam gengaman itu. Ah, dia
kalah sigap. Tangan sang ahli telah lebih dulu menutup. "Kamu belum berhasil
anak muda. Cobalah besok." Sang pemuda tampak kecewa.

Keesokan harinya, anak muda itu kembali mencoba. Ujian pun berulang. Lagi-lagi,
dia gagal. Gerakannya masih terlalu lambat. Ia pun harus kembali mengulang ujian
itu. Dua, tiga hari dilaluinya, tak juga berhasil. Sembilan hari telah
terlewati, tapi batu itu masih belum berpindah tangan. Pemuda itu mulai tampak
putus asa, dan dia berjanji, kalau besok masih belum berhasil, dia akan berhenti
dan tak mau menjadi ahli permata.

Hari penantian itu pun tiba. Keduanya telah duduk berhadapan. Sang ahli
bertanya, "Kamu sudah siap?" Sang ahli meletakkan sebongkah batu di atas
gengamannya. Namun, tiba-tiba anak muda itu berteriak, "Hei, tunggu dulu. Itu
bukan batu yang biasa kita gunakan!" Alih-alih meraih batu itu, sang anak muda
malah menanyakan tentang batu. Wajah keheranan itu dibalas dengan senyuman dari
sang ahli batu. "Anak muda, kamu lulus ujian pertama dariku. Selamat!"

***

Hidup di dunia, kadangkala seperti pertunjukan sulap. Apa yang ada di depan
mata, seringkali bukan apa yang kita dapatkan. Harapan yang kita inginkan,
acapkali meleset. Banyak yang tertipu, banyak pula yang salah duga dan salah
kira. Sebab, di sana memang penuh kepalsuan.

Teman, sering kita mendengar istilah, siapa cepat dia dapat. Kita pun terpacu
untuk sepakat dengan perkataan itu. Kemudian, segalanya berubah menjadi begitu
bergegas. Adu cepat dan adu sigap. Namun, adakah yang tercepat selalu yang jadi
pemenang? Kadangkala jawabannya tidak semudah itu. Saya percaya, tak selamanya
kita memaknai hidup ini dengan cara-cara seperti itu. Ada kalanya kita perlu
bertanya kepada hati tentang makna hidup yang sebenarnya. Setidaknya, kali ini
saya percaya, mereka yang cermatlah yang akan memenangkan pertarungan hidup.
Mereka-mereka yang belajar tentang ketelitianlah yang lulus dari ujian
kehidupan. Tak selamanya, si cepat adalah si juara.

impian-sejati.jpgSuatu hari, ada seorang muda yang bertemu dengan seorang tua yang bijaksana. Si anak muda bertanya, “Pak, sebagai seorang yang sudah kenyang dengan pengalaman tentunya anda bisa menjawab semua pertanyaan saya”.

“Apa yang ingin kau ketahui anak muda ?” tanya si orang tua. “Saya ingin tahu, apa sebenarnya yang dinamakan impian sejati di dunia ini”. Jawab si anak muda.

Orang tua itu tidak menjawab pertanyaan si anak, tapi mengajaknya berjalan-jalan di tepi pantai. Sampai di suatu sisi, kemudian mereka berjalan menuju ke tengah laut. Setelah sampai agak ke tengah di tempat yang lumayan dalam, orang tua itu dengan tiba-tiba mendorong kepada si anak muda ke dalam air.

Anak muda itu meronta-2, tapi orang tua itu tidak melepaskan pegangannya. Sampai kemudian anak muda itu dengan sekuat tenaga mendorong keatas, dan bisa lepas dari cekalan orang tua tersebut.

“Hai, apa yang barusan bapak lakukan, bapak bisa membunuh saya” tegur si anak muda kepada orang bijak tersebut. Orang tua tersebut tidak menjawab pertanyaan si anak, malah balik bertanya ,”Apa yang paling kau inginkan saat kamu berada di dalam air tadi ?”. “Udara, yang paling saya inginkan adalah udara”. Jawab si anak muda.

“Hmmm, bagaimana kalo saya tawarkan hal yang lain sebagai pengganti udara, misalnya emas, permata, kekayaaan, atau umur panjang ?”tanya si orang tua itu lagi.

“Tidak ….. tidak …… tidak ada yang bisa menggantikan udara. Walaupun seisi dunia ini diberikan kepada saya, tidak ada yang bisa menggantikan udara ketika saya berada di dalam air” jelas si anak muda.

“Nah, kamu sudah menjawab pertanyaanmu sendiri kalau begitu. KALAU KAMU MENGINGINKAN SESUATU SEBESAR KEINGINANMU AKAN UDARA KETIKA KAMU BERADA DI DALAM AIR, ITULAH IMPIAN SEJATI” kata si orang tua dengan bijak.

Sahabat situs motivasi, Resensi.net, apakah anda saat ini mempunyai impian sejati ? Banyak orang yang mengatakan impian mereka ini, atau itu, tapi sebagian besar yang mereka sebutkan adalah keinginan belaka, bukan impian. Keinginan sifatnya tidak mendesak. Kalo bisa dapat syukur, nggak dapat juga tidak apa-apa. Kalo bisa mobil BMW, kalo nggak, Kijang juga gak apa-2.

Ada pula orang yang mempersepsikan impian dengan harapan. Keduanya mirip namun berbeda. Harapan lebih kepada sesuatu di masa depan yang terjadi dengan sendirinya atau atas hasil kerja orang lain. Campur tangan kita kecil sekali, atau bahkan tidak ada. Impian tidak seperti itu. Apapun yang terjadi, mau tidak mau, dengan perjuangan sekeras apapun impian itu HARUS tercapai.

Impian terbaik seorang manusia adalah ketika dia berusia dibawah lima tahun. “Saya mau jadi dokter, mau jadi pilot, mau jadi pengusaha, dll ……” bukankah itu yang kerap dikatakan oleh anak-anak anda ?

Sayangnya, begitu mereka menginjakkan kaki di bangku sekolah, mereka `diharamkan’ membuat kesalahan. Selain itu, mereka juga mulai diajarkan melihat realitas dunia – dari sisi yang negatif.

Menurut sebuah penelitian yang dilakukan di Amerika, seorang remaja hingga dia berusia 20 tahun, rata-rata akan menerima 20.000 macam kata “NO”. “Jangan nakal, jangan main air, jangan kesana,jangan malas, jangan pergi, dan ribuan kata jangan yang lain. Memang tujuannya baik karena mengajarkan kepada kita agar dapat hidup dengan baik. Tapi karena terlampau seringnya kata “NO’ itu diterima, akan mempengaruhi pula alam bawah sadar manusia. Sehingga setiap kali kita memikirkan sesuatu yang baru, misalnya impian, yang pertama kali terlintas di benak kita adalah kata “NO”.

Banyak juga orang saat ini apabila ditanya apa impiannya, mereka menjawab tidak tahu. Sungguh malang nasib orang tersebut, karena orang yang tidak mempunyai impian sebetulnya secara mental mereka sudah `mati’. Mungkin orang-2 tersebut menganggap hidup adalah suatu nasib, sehingga sekeras apapun mereka bekerja
atau setinggi apapun impian mereka, namun apabila nasib tidak menghendaki mereka sukses, mereka tidak akan sukses.

Atau ada pula type orang yang terjebak di dalam `comfort zone’, dimana kehidupan mereka saat ini sudah nyaman, atau setidaknya berkecukupan. Mereka merasa tidak perlu membuat suatu impian yang lebih besar. Mereka mungkin akan berkata “Ah, buat apa rumah besar-besar …. Bisa ngontrak aja sudah bagus ……”.

Type ketiga, ada orang yang SENGAJA tidak mau membuat impian, karena ……. malu jika ditertawakan orang lain, dianggap norak, nggak tau diri, atau bahkan gila. Nah, sebenarnya bukan anda yang norak, tapi karena hidup kita sudah terlalu penuh dikelilingi oleh orang-orang dengan pikiran negatif, dimana mereka akan merasa `tidak suka’ jika ada seseorang yang tadinya setingkat dengan mereka, lalu mau pergi ke tingkat yang lebih tinggi. Mereka akan berusaha dengan ejekan, sindiran dan usaha-usaha lain agar anda tetap `selevel’ dengan mereka. Kalau anda ingin membuktikan, coba besok pagi di kantor, katakan kepada rekan-2 anda , “Saya punya impian untuk jadi orang sukses. Saya akan berusaha keras mencapainya, untuk membawa saya dan keluarga saya ke tingkat yang lebih baik”. Lalu coba lihat ….. berapa banyak yang mentertawakan anda ….. Dan coba lihat pula berapa orang yang mendukung anda. Mungkin hampir tidak ada yang mendukung anda. Masih maukah anda meraih impian tersebut ….. setelah anda ditertawakan ….?

Sahabat situs motivasi resensi.net sekalian, saya yakin kita saat ini masih mampu menciptakan impian-2 kita, asalkan kita mau menghilangkan segala penghalang di dalam benak kita. Cobalah untuk berpikir bebas, seperti anak berusia 5 tahun. Jangan hiraukan apa yang dikatakan orang tentang impian anda, tapi berusahalah agar impian itu tercapai.

Memang benar, kita tidak akan bisa mencapai semua impian kita. Tapi tanpa punya impian, anda tidak akan meraih apa-apa. Ciptakan impian, lakukan kerjanya, dan raih hasilnya !

Semoga sukses !

Motivational Quotes

There are many people who have big plans but their big plans never come true. The reason is, too many people have big plans but fail to keep their small agreements
- Robert Kiyosaki -

The future belongs to those who believe in the beauty of their dreams
- Eleanor Roosevelt -

What ever the mind of man can conceive & believe, it can achieve !
- Napoleon Hill -

Most of the important things in the world have been accomplished by people who have kept on trying when there seemed to be no hope at all
- Dale Carnegie -

I can not give you the formula for success, but I can give you the formula for failure, which are try, try and try
- Herbert Bayard Swope -

sedih dan harapanKRISIS ekonomi berkepanjangan yang diikuti dengan kegagalan sejumlah aspek dari gerakan reformasi tampaknya mulai membuahkan pesimisme rakyat Indonesia akan masa depan bangsa. Orang menjadi kehilangan harapan, bahkan khawatir mengenai eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara bangsa.

Deretan pertanyaan bisa terus bertambah dan rasa lelah itu akan semakin menjadi jika yang terbentang di depan mata hanyalah sisi gelap bangsa. Di saat itulah keputusasaan akan muncul, yang berarti berakhirlah sudah makna kita sebagai bangsa.

Mungkin ada baiknya kita mulai menengok ke sekeliling, mencoba mencari sinar pelita seredup apa pun. Banyak orang tak menyadari kehadiran pelita-pelita kecil itu karena yang didambakan adalah sinar terang gemerlap yang tak kunjung menyala.

DI sekeliling kita sebetulnya masih banyak individu-individu yang diam-diam berbuat sesuatu, menelurkan karyanya tanpa harapan pujian atau imbalan. Boleh jadi nama mereka hanya dikenal di komunitas kecilnya. Tak ada lomba atau kompetisi yang mempertarungkan kemampuan mereka.

Kita tengok Trisno Suwito, pria berusia 60 tahun, warga Dusun Plarung, Desa Sawahan, Kecamatan Ponjong, Gunung Kidul, DI Yogyakarta, yang begitu telaten mengumpulkan berbagai umbi langka untuk dikembangbiakkan. Umbi-umbian-yang pada tahun 1960-an menjadi penolong rakyat saat musibah kekeringan dan kelaparan datang-kini memang mulai dilupakan orang, bersamaan dengan diperkenalkannya penanaman padi.

“Padahal, bapak saya bilang, ‘Kalau kamu tetap menanam umbi, ketika ada kelaparan lagi, kamu tidak akan mati’,” kata Trisno, anak Noyo Semito, petani miskin di dusun itu. Menjelang akhir hayatnya tahun 2000, Noyo memintanya untuk menyelamatkan umbi-umbian langka dan menanamnya kembali di ladang.

Untuk mendapatkan umbi- kini Trisno dapat mengumpulkan sekitar 150 jenis umbi-setiap hari ia harus meniti bukit cadas tajam di sekitar desanya. Kadang kala ia temukan bibit di sela batu cadas, tinggal sebatang dan hampir mati.

Koleksi Trisno saat ini antara lain adalah gembili jempina (Dioscorea sp), gembili wulung/ungu (Dioscorea sp), umbi senggani ulo yang bentuknya mirip ular melingkar, umbi legi, compleng (Amorphopallus sp), coklok, katak (Dioscorea pentafolia), dan beberapa jenis ganyong (Kanna edulif).

Tentang koleksinya itu, Trisno yang tidak tamat pendidikan sekolah dasar (SD) hafal betul cirinya masing-masing, mulai dari bentuk daun, batang, duri, sampai bagaimana cara mengolahnya-terutama untuk umbi beracun-agar aman dikonsumsi. Bagi Trisno, mengumpulkan umbi-umbian seperti mengumpulkan harta karun.

“Untuk generasi sekarang dan yang akan datang,” kata Trisno yang sangat senang jika ada mahasiswa, kandidat doktor, atau peneliti datang bertanya atau bahkan meneliti koleksinya. “Saya merasa usaha keras saya dihargai,” ungkapnya.

SERUPA dengan Trisno, Hadi Jatmiko juga bisa dibilang pelestari alam kecil-kecilan. Kakek berusia 72 tahun ini gemar menanam bibit jati di tanah kosong yang berjarak 500 meter dari rumahnya. Warga Dusun Jetis Kaliurang, Desa Sumber Agung, Kecamatan Moyudan, Kabupaten Sleman, ini sampai rela menjual kolam lele dan hasilnya habis dibelikan bibit jati. Ia pun rela “didiamkan” sang istri, yang menganggapnya sudah gila.

Tak kurang dari 4.000 bibit jati yang dibeli di Ngawi ditanam di tanah kosong tak produktif seluas 4.000 meter persegi. Padahal, untuk memperoleh tanah itu, ia harus membeli dengan pinjaman bank sebesar Rp 6 juta. Jaminannya hanya surat keterangan pensiunan pegawai negeri golongan II B.

Filosofi Hadi sederhana. Menanam jati sama saja belajar tentang kesejatian hidup karena hasilnya tak akan bisa dinikmati si penanam melainkan keturunannya. “Kalau tanah dibiarkan penuh semak belukar, sampai 20 tahun pun tetap jadi semak. Tetapi, kalau ditanami jati, 20 tahun lagi akan bernilai tinggi,” katanya.

Apa yang dirintis Hadi ternyata menular pada tetangganya. Mereka pun kini rajin menanam lahan kosong tak produktif dengan pokok jati sehingga di dusunnya terbentuk Kelompok Tani Jati Lestari. Dalam waktu empat tahun, kelompok ini beranggotakan 20 orang dan telah menanam 49.000 batang jati. Hadi pun kini makin kerap diminta menanam jadi di wilayah lain di Jawa Tengah, Jawa Timur, bahkan sampai Sumatera Utara. Total tanah yang ditanami jati olehnya sampai 50 hektar.

SEMENTARA itu, di Karimunjawa, Jawa Tengah, nama Ismarjoko Budi Santoso (38) dikenal sebagai orang bersungguh-sungguh yang melestarikan penyu. Untuk urusan penyu yang sangat dilindungi ini sekurangnya telah ada tiga peraturan hukum yang memayunginya. Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam mengancam penangkap penyu dengan hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 100 juta. UU ini lantas diterjemahkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 7/1999 tentang Penyu Hijau sebagai Satwa Dilindungi dan Surat Keputusan Menteri Kehutan No 882 /Kpts/II/92 yang mengatur perlindungan penyu pipih dan penyu sisik.

Namun, aturan hukum hanyalah urusan hitam di atas putih. Yang terjadi di lapangan sendiri adalah persoalan hukum pasar. Daging dan telur penyu dicari orang untuk dikonsumsi, begitu juga karapas alias batok yang biasa dipakai sebagai suvenir. Hati Ismarjoko-yang sehari- hari berprofesi sebagai nelayan sekaligus pengumpul ikan- pun belakangan tergerak. Di satu sisi, ia ingin menyelamatkan penyu dari kepunahan, tetapi di sisi lain ia berniat membantu sesama nelayan. Dengan modal pas-pasan, ia pun membangun bak pembesaran tukik (anak penyu) berukuran 1,5 meter x 1 meter yang diisi air laut.

Supaya para nelayan bersedia melepas telur penyu yang dimiliki, Ismarjoko membelinya dengan harga dua kali lipat dari harga pasar. Meski tidak mudah menetaskannya di alam bebas- “Pernah tahun 2000 saya membeli 260 telur, sebanyak 124 butir di antaranya gagal menetas,” ujarnya pasrah-Ismarjoko tak patah semangat. Padahal, ia juga tahu, daya hidup tukik sangat rendah. Dari 1.000 tukik, paling hanya satu atau dua ekor yang bisa terus menjadi dewasa, suatu perjalanan yang membutuhkan waktu sampai 30 tahunan.

Tukik yang berusia 6-12 bulan itu kemudian harus dilepaskan ke laut. Sejak tahun 2000, tak kurang dari 700 tukik dikembalikan Ismarjoko ke habitatnya kendati ia menargetkan bisa meningkat sampai 300-500 anak penyu setiap tahunnya. “Pelepasan penyu seharusnya bisa menarik wisatawan karena artinya kita ikut terlibat dalam pelestarian penyu,” ujarnya menambahkan.

BETAPA besar pengabdian pelita-pelita kecil pada umat manusia bisa dilihat dari kesederhanaan dan sikap tanpa pamrih mereka. Tangan menghadap ke bawah, bukan menengadah ke atas. Artinya, menyumbangkan kemampuan diri lebih penting daripada meminta-minta bantuan orang.

Hermawati (48), misalnya, selama sepuluh tahun terakhir mendirikan sekolah, SD Tunas Nelayan, sekaligus menjadi guru bagi murid-muridnya tanpa bayaran sepeser pun. Di sebuah pulau kecil berukuran empat kilometer persegi, Pulau Burung-terletak 10 menit perjalanan dengan speedboat dari Batulicin, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan- ia membangun “kandang sekolah” berukuran 3 meter x 6 meter. Dengan dinding papan, atap rumbia berlubang-lubang, dan lantai tanah yang setiap saat siap ambruk, sekolah yang dipimpin Hermawati ini lebih mirip kandang ternak daripada kelas belajar.

Ruangan itu disekat menjadi tiga kelas kecil yang menampung murid dari kelas 1 hingga kelas 5 sebanyak 35 orang. Tak heran jika jam belajar pun digilir masing-masing satu jam. Maklum, gurunya hanya satu, Hermawati sendiri.

“Saya sebenarnya bukan guru, saya hanya sekolah sampai sekolah rakyat. Setelah membangun sekolah ini, saya memang sempat ikut Kejar Paket B,” ujar Hermawati. Adapun yang mendorongnya membangun sekolah tak lain karena kasihan melihat nasib anak- anak nelayan yang tidak bisa membaca dan menulis. “Zaman sudah maju, tetapi kami semakin terbelakang,” katanya.

Sementara tak mungkin untuk menarik uang SPP apalagi uang “gedung”, Hermawati pun kelabakan membantu belajar anak-anaknya dalam soal buku pelajaran. Suatu kali ia pernah mengajukan proposal ke berbagai kantor pemerintah agar mereka dibantu dengan buku- buku pelajaran, tetapi tak sedikit pun tanggapan datang. Yang lebih memusingkan, murid-muridnya yang hendak melanjutkan ke kelas 6 SD ternyata mengalami kesulitan untuk pindah sekolah karena kualitasnya dianggap tak memadai. Kenyataan ini sungguh menyakitkan anak-anak Pulau Burung. Mereka hanya bisa melanjutkan pelajaran di sekolah madrasah.

MIRIP dengan kisah Hermawati, apa yang dilakukan Ibe Karyanto (41) di pinggiran Kali Malang, Jakarta Timur, secara total hanya diperuntukkan bagi anak-anak jalanan. Begitu totalnya hingga nyaris tak ada harta benda pribadi yang layak untuk dirinya sendiri. Ibe tinggal bersama sekitar 80 anak jalanan selama 24 jam. Ruang pribadinya hanya kamar di barak berdinding kayu bekas. Ranjangnya dilapisi selembar kasur tipis. Harta “termewah” hanya kendaraan jip Toyota Hardtop butut keluaran tahun 1974.

Bersama dengan Sanggar Akar, ia menggerakkan dukungan banyak orang-termasuk pemusik, pematung, pembuat film, guru, dan mahasiswa-untuk kelangsungan hidup anak-anak termarjinalkan ini. Mereka membantu Ibe untuk mengajar musik, teater, menyablon, membuat patung, dan lain-lain. Sehari-hari Ibe mendampingi anak-anak itu hingga pukul 03.00 tanpa hari libur.

Sejak awal Ibe memang menggunakan pendekatan kesenian untuk mendidik anak- anak jalanan itu. Hasilnya lumayan, generasi pertama mereka kini sudah bisa menjadi andalan aktivitas sanggar. Bahkan, ada tujuh anak didik Ibe yang melanjutkan studi ke perguruan tinggi dan mengambil bidang seni rupa, musik, desain, serta bahasa Inggris.

Dari orang-orang semacam Ibe, Hermawati, Hadi, Trisno, atau Ismarjoko sebenarnya Indonesia bisa berharap masih ada masa depan yang cerah di depan kita. Jangan pernah kita kehilangan harapan itu. (j10/aik/bsw/wis/amr/fit)

Sumber: Kompas - Kamis, 30 Desember 2004

Suatu hari seorang dosen memberikan kuliah tentang manajemen waktu pada para mahasiswa MBA. Dengan
penuh semangat ia berdiri depan kelas dan berkata, "Okay, sekarang waktunya
quiz". Kemudian ia melatakkan ember kosong dan meletakkannya di meja.
Kemudian ia mengisi ember tersebut dengan matu sebesar sekepalan tangan.
ia mengisi terus hingga tidak ada lagi batu yang cukup untuk di masukkan
kedalam ember. ia bertanya pada kelas, "Menurut kalian, apakah ember ini telah penuh?"

Semua mahasiswa serentak berkata, "Ya!"

Dosen bertanya kembali, "Sungguh demikian?" Kemudian, dari dalam meja ia mengeluarkan sekantung
kerikil kecil. Ia mengeluarkan kerikil-kerikil itu kedalam ember
lalu mengocok-ngocok ember itu sehingga kerikil-kerikil itu turun
kebawah mengisi celah-celah kosong antara batu-batu. Kemudian, sekali lagi ia bertanya pada kelas,
"Nah, apakah sekarang ember ini sudah penuh?"

Kali ini para mahasiswa terdiam. Seseorang menjawab, "Mungkin tidak."

"Bagus sekali," sahut dosen. Kemudian ia mengeluarkan sekantung pasir
dan menuangkan kedalam ember. Pasir tersebut berjatuhan mengisi celah-celah kosong antara batu dan kerikil.
Sekali lagi, ia bertanya pada kelas, "Baiklah, apakah sekarang ember ini sudah penuh?"

"Belum" sahut seluruh kelas.

Sekali lagi ia berkata. "Bagus, bagus sekali" Kemudian ia meraih sebotol
air dan mulai menuangkan airnya kedalam ember sampai ke bibir ember.
Lalu ia menoleh kekelas dan bertanya, "Tahukah kalian apa maksud illustrasi ini?"

Seorang mahasiswa dengan semangat mengacungkan jari dan berkata, "Maksudnya adalah,
tak peduli seberapa padat jadwal kita, bila kita mau berusaha sekuat tenaga
maka pasti kita bisa mengerjakannya."

"Oh, bukan," sahut dosen, "Bukan itu maksudnya. Kenyataan dari illustrasi
mengajarkan pada kita bahwa: bila anda tidak memasukkan "Batu besar"
terlebih dahulu, maka anda tidak akan bisa memasukkan semuanya."

Apa yang dimaksud dengan "batu besar" dalam hidup anda? Anak-anak anda;
Pasangan anda; Pendidikan anda; Hal-hal yang penting dalam hidup anda;
Mengerjakan sesuatu pada orang lain; elakukaan pekerjaan yang kau cintai;
Waktu untuk diri sendiri; Kesehatan anda; Teman anda; atau semua yang berharga.

Ingatlah untuk selalu memasukkan "Batu besar" pertama kali atau anda akan kehilangan semuanya.
Bila anda mengisi dengan hal-hal kecil (semacam kerikil dan pasir)
maka hidup anda akan penuh dengan hal-hal kecil yang merisaukan dan ini semestinya tidak perlu.
Karena denga demikian anda tidak akan pernah memiliki waktu yang sesungguhnya anda perlukan
untuk hal-hal besar yang penting.

Oleh karena itu, setiap pagi atau malam, ketika akan merenungkan
cerita pendek ini, tanyalah pada diri anda sendiri: "Apakah
"Batu Besar" dalam hidup saya?" lalu kerjakan itu pertama kali.